Pemerintah akhirrnya bersikukuh menarik subsidi BBM sebesar 35 Trilyun. Dampaknya harga BBM jadi naik hampir 30%. Dalihnya, penyelamatan APBN negara ditengah krisis pangan dan krisis energi yang terjadi di dunia. Pemerintah tidak sanggup jika harus terus memberikan subsidi. Apalagi subsidi yang diberikan ternyata “salah sasaran”. Dalam pandangan pemerintah, seharusnya penerima subsidi adalah hanya rakyat miskin. Tapi kenyataannya, subsidi BBM juga dinikmati masyarakat kelas atas. Benarkah alasan ini dapat diterima sebagai dalih menaikkan harga BBM? Bahkan, untuk menyembunyikan kelemahan alasan ini, pemerintah membujuk rakyat miskin dengan memberikan BLT sebesar seratus ribu per bulan. Yang kebanyakan habis dalam waktu kurang dari seminggu. Seminggu sejahtera, tiga minggu merana.
Hajat Hidup Orang Banyak dan Subsidi
Definisi ‘hajat hidup orang banyak’ harus dipertegas lagi. Karena penegasan definisi ini sangat menentukan kemana arah kebijakan pemerintah. Membela rakyat atau membela entah siapa. Sehingga jelas, mana kebutuhan yang harusnya disediakan oleh negara kepada rakyat dengan akses mudah dan murah.
Jika pasal 33 menyatakan bahwa hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka seharusnya rakyat makmur, karena kebutuhan mendasarnya mudah dipenuhi karena dikelola dengan benar oleh negara. Atau jangan-jangan pasal ini sudah tidak berlaku lagi saat ini? Yakni bahwa, hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai oleh negara? Terlebih lagi bahwa kemakmuran rakyat adalah tanggung jawab masing-masing rakyat, bukan lagi tanggung jawab negara? Jika benar demikian maka memang wajar bahwa negara tidak lagi bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Semuanya diserahkan kepada individu masyarakat.
Lantas untuk apa hidup bernegara? Jika tujuan hidup bernegara adalah untuk menjamin kesejahteraan rakyat, menjamin keamanan dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara rakyat tidak tercapai? Atau bahkan diingkari. Tidak ada lagi peran pemerintah terhadap rakyat, jika kenyataanya semua urusan diserahkan kepada rakyat. Tapi bagaimana pun rakyat masih membutuhkan peran pemerintah yang mau mengurusi mereka dengan baik. Meskipun ditengah kondisi yang sulit, masyarakat punya cara sendiri untuk bertahan hidup. Tapi apakah pemerintah memang hendak berlepas tangan dari mengurusi hajat hidup orang banyak demi kesejahteraannya.
Dalam kasus kenaikan harga BBM, pertanyaan yang muncul adalah apakah BBM termasuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak? Jika kenyataannya semua sektor membutuhkan BBM. Misalnya, transportasi, penyediaan listrik, kebutuhan rumah tangga, pertanian, perikanan dan sebagainya. Nyatanya harus diakui bahwa BBM adalah kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanpa adanya BBM, kehidupan masyarakat akan macet. Karena memang definisi kebutuhan hajat hidup orang banyak adalah hal-hal yang dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat dan menentukan keberlangsungan kehidupan masyarakat karena merupakan kebutuhan pokok.
Konsekuensinya adalah BBM sebagai hajat hidup orang banyak, maka penyediaan BBM kepada masyarakat harus mudah dan murah.
Penyediaan BBM kepada masyarakat secara mudah dan murah, tidak boleh membedakan antara rakyat miskin dan rakyat kaya. Karena semuanya adalah rakyat. Jika ada yang menyatakan bahwa terjadi penyalahgunaan penggunaan subsidi BBM, yaitu bahwa subsidi BBM ternyata justru dinikmati oleh orang kaya. Maka dicabutlah subsidi BBM dan dialihkan kepada rakyat miskin dalam bentuk BLT. Jelas ini tidak dapat diterima. Karena masalah yang mendasari munculnya pernyataan ini bukanlah masalah subsidi BBM. Tetapi justru masalah distribusi kekayaan yang tidak merata.
Kekayaan hanya terkumpul di orang kaya saja. Tidak ada mekanisme yang mengatur distribusi kekayaan secara merata. Kalaupun ada mekanisme pajak, maka itupun tidak berjalan dengan baik. Ataupun jika berjalan, maka beban pajak biasanya diberikan kepada konsumen, yang tidak lain adalah rakyat. Maka akan sama saja. Rakyat juga yang menanggung bebannya.
Pemberian BLT juga tidak akan cukup untuk mengatasi masalah distribusi kekayaan yang tidak merata. Dengan dana 100 ribu per bulan, jelas tujuan dari pemberian dana ini bukanlah untuk kemandirian. Tetapi 100 ribu per bulan adalah dana untuk konsumsi, yang pasti akan cepat habis tanpa meninggalkan bekas sedikitpun bagi meningkatnya taraf hidup masyarakat. Harusnya dana yang diberikan lebih besar lagi, untuk modal usaha.
Ini semua dilakukan tanpa menaikkan harga BBM. Tetap berdasarkan argumentasi diatas, bahwa BBM harus terjangkau oleh masyarakat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan masalah tidak meratanya distribusi kekayaan adalah masalah lain. Yang tidak bisa diselesaikan melalui BBM. Karena tidak nyambung.
Apa yang harus dilakukan pemerintah saat ini?
Jujurlah pada masyarakat mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Harga minyak dunia memang naik. Kebutuhan BBM dalam negeri memang meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini meskipun jumlah kebutuhan dalam negeri sekitar 1,2 juta barel per hari, sedangkan kemampuan produksi dalam negeri hanya sekitar 1 juta barel per hari, tetapi mengapa menghitung subsidi yang diberikan dari angkat 1,2 juta barel. Bukankah seharusnya negara hanya harus menyubsidi angka 0,2 juta barel saja. Mengapa angka subsidi bisa begitu besar.
Jika kenyataannya meskipun negeri ini kaya minyak, tapi jujurlah pada kami bahwa kilang-kilang minyak itu sudah dijual kepada asing. Hingga, bagaimana mungkin, negeri dengan pendapatan perkapita hanya sekitar 810an dolar pertahun, memiliki harga penjualan BBM tertinggi ke lima di dunia, setelah Jepang, Amerika, Cina dan Malaysia. Wajar jika Jepang (sekitar sepuluh ribu rupiah per liter) dan Amerika (sekitar delapan ribu rupiah per liter) memiliki harga BBM yang sangat mahal, karena selain tidak punya tambang minyak, pendapatan perkapitanya lebih dari 30.000 dolar per tahun. Tapi kita?
Jujurlah mengenai kemana dana APBN dikucurkan. Bukankah dana APBN banyak dialokasikan untuk menyahur hutang. Tahun ini saja sebanyak 151,2 Trilyun. Hutang siapa? Tentu saja hutang-hutang yang tidak jelas untuk apa. Untuk proyek-proyek semu, untuk menyehatkan bank-bank milik konglomerat gagal yang sekarang asyik berleha-leha. Di tengah kerja keras rakyat yang turut menanggung besarnya pengeluaran APBN.
Maka, batalkan saja kenaikan BBM. Urusi harta negara yang dirampok oleh para koruptor dan penjajah asing. Gunakan untuk menutupi defisit APBN. Meskipun sebenarnya masalah yang terjadi memang sangat rumit. Tapi dengan niat tulus, benahi dari sini. Batalkan kenaikan BBM. Ambil apa yang seharusnya menjadi milik negara. Ambil pemasukan dari orang-orang kaya melalui pajak dan zakat. Distribusikan kepada masyarakat secara merata.
Buktikan bahwa “Kita Bisa!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar