Assalammu'alaykum WR WB

Selamat Datang, Saudaraku...

Rabu, 28 Januari 2009

Mencari Akar Masalah Labilnya Rupiah

Oleh Yulia Fajar Rini
(Dimuat di Harian Bhirawa 30 Oktober 2008)





Anjloknya kurs Rupiah sampai level Rp. 12.000 per dolar AS pada Selasa 28 Oktober 2008 tak dapat diremehkan. Karena setiap melemahnya rupiah, berarti berkurangnya cadangan devisa. Jika rupiah melemah Rp. 9.500 per dolar AS, sekitar Rp 500 triliun aset Indonesia telah menguap begitu saja.
Beberapa pakar memprediksi, jika Rupiah melemah sampai ke level Rp. 15.000 per dolar AS, kondisi krisis 1997 mungkin akan terulang lagi.
Perlu diingat, krisis tahun 1997 di Indonesia ditandai dengan merosotnya nilai rupiah sebesar 14,37% hanya dalam waktu satu bulan dari Rp 2.599 per dolar pada pertengahan Juli 1997 menjadi Rp 3.035 per dolar di bulan Agustus 1997. Di akhir tahun 1997 nilai rupiah semakin merosot menjadi Rp 4.650 per dolar dan puncaknya rupiah terjun bebas di angka Rp 16.900 per dolar pada bulan Mei 1998.
Dengan begitu uregennya sistem moneter, rasanya kita perlu meninjau ulang sistem moneter kita selama ini. Jangan-jangan kelabilan Rupiah disebabkan oleh sistem mata uang kita yang rapuh?
Akar Masalah Labilnya Rupiah
Penyebab utama labilnya Rupiah, juga berbagai mata uang dunia disebabkan oleh sistem mata uang yang rapuh. Yaitu sistem mata uang yang tidak dijamin oleh sesuatu yang mempunyai nilai intrinsik, seperti emas. Dikatakan Rapuh, karena sistem seperti ini, berkonsekuensi pencetakan mata uang yang ”semau sendiri” sehingga berdampak menurunnya nilai mata uang. Jika terjadi defisit neraca pembayaran, mata sistem mata uang sekarang akan menanggulangi masalah ini dengan mencetak yabg jertas bary. Sebab tidak ada syarat (yang mengikat) untuk menerbitkan uang kertas baru. Akhirnya jumlah uang meningkat, sedangkan jumlah barang kebutuhan tetap. Dampaknya adalah menurunnya nilai uang.
Ini menunjukkan lemahnya sistem mata uang yang tidak dijamin dengan emas atau sesuatu yang lain,yang mempunyai nilai intrinsik. Kronologisnya adalah sebagai berikut :
Yang pertama, Devisa yang kuat merupakan devisa suatu negara yang berbentuk emas atau mata uang negara lain yang berdasarkan emas. Tapi sejak ditinggalkannya mata uang emas pada perang dunia pertama, devisa negara-negara banyak berupa mata uang negara lain yang dijamin emas, kecuali Amerika yang menggunakan devisa emas, karena cadangan emasnya yang sangat banyak. Namun, setelah tahun 1971 dolar AS tidak lagi dikonversi dengan emas. Sistem emas ditinggalkan secara total. Dampaknya, tahun 1989 dolar AS anjlok dengan sangat dramatis. Negara-negara lain yang bersandar pada dolar AS pun ikut-ikutan kena dampaknya.
Sistem emas dalam mata uang memang seolah sudah tidak jaman lagi. Apalagi terbangunnya asumsi bahwa jumlah emas yang terbatas tidak memungkinkan memenuhi kegiatan transaksi yang sangat banyak dan beragam. Namun, ada satu hal yang harus diingat. Selama sistem emas diterapkan (yaitu sampai Perang Dunia pertama) dunia tidak pernah di guncang oleh krisis moneter atau krisis mata uang seperti sekarang ini. Meskipun para pemain bank investasi besar sebenarnya memperkirakan bahwa bencana pasar keuangan mestinya terjadi hanya sekali dalam 10 ribu tahun. Mantan ketua Federal Reserve, Alan Greenspan berusaha menenangkan dunia dengan mengingatkan bahwa krisis keuangan adalah sekedar kasus yang terjadi setiap satu abad, yang kemudian akan berlalu. Tapi ironisnya, mereka mengatakan hal yang sama ketika pasar saham ambruk di tahun 1987, dan bangkrutnya perusahaan hedge-fund yang bernama Long Term Capital Management di tahun 1998,
Kedua, Sistem mata uang yang ada sekarang yaitu sistem mata uang inkorvertibel yang berarti sistem mata uang yang dijamin oleh UU bukan oleh sesuatu yang bernilai intrinsik merupakan sistem mata uang yang berdasarkan pada kepercayaan terhadap lembaga yang mengeluarkan mata uang. Jika kepercayaan tinggi, maka nilai mata uang akan meningkat begitupun sebaliknya. Hal ini berdampak pada kelabilan nilai mata uang. Ditambah lagi, lembaga yang mengeluarkan mata uang bisa semaunya mencetak mata uang sesuai kebutuhannya. Sehingga sistem mata uang inkonvertibel ini akan selalu memunculkan inflasi yang terus-menerus.
Hal ini berbeda dengan sistem emas. Sistem emas tidak menyebabkan dunia mengalami kelebihan mata uang secara tiba-tiba dengan bertambahnya peredaran mata uang. Ini karena mata uang emas bersifat tetap dan stabil. Tidak perlu dikhawatirkan adanya ketidakmampuan sistem emas dalam melayani transaksi yang semakin banyak. Karena yang seharusnya diperhatikan dalam sebuah sistem uang adalah kemampuan uang (nilai/daya beli uang) bukan banyak atau sedikitnya uang.
Telah terbukti bahwa kekuatan daya beli yang besar hanya terjadi pada sistem emas. Karena emas memiliki stabilitas nilai yang pasti dan permanen. Pada saat meningkatnya barang dan jasa yang ada sementara jumlah uang yang beredar tetap, maka hal ini mengakibatkan terciptanya kondisi dimana mata uang dipaksa untuk membeli barang dan jasa yang jumlahnya lebih besar. Sebaliknya, jika jumlah barang dan jasa menurun, sementara jumlah uang yang beredar tetap, maka kemampuan mata uang akan menurun untuk membeli barang dan jasa. Sehingga mata uang yang beredar akan mampu memenuhi pertukaran mata uang berapapun jumlah mata uang yang beredar.
Jika kita menginginkan sistem mata uang yang stabil, maka sudah saatnya kita memikirkan ulang untuk mengambil sistem mata uang yang berdasarkan emas.
Sistem mata uang emas akan berdampak pada stabilnya sistem moneter yang merupakan pilar sistem ekonomi. Mengapa tidak kita coba?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar