Oleh : Yulia Fajar Rini
(Dimuat di Harian Bhirawa tanggal 24 November 2008)
Rencana pemerintah menurunkan harga premium sebesar Rp. 500 pada 1 Desember merupakan sebuah kabar gembira. Meskipun sebenarnya harga minyak dunia sudah turun ke level sekitar US$ 60-70 per barel sekitar satu setengah bulan lalu. Rencana yang agak terlambat. Harga premium di Amerika Serikat saat ini saja sudah berkisar Rp. 5.800. Sayangnya, pemerintah masih harus menunda penurunan harga premium ini sebulan lagi. Kekecewaan juga muncul, karena ternyata hanya harga premium yang diturunkan. Solar dan bensin yang sebenarnya juga tak kalah pentingnya dibandingkan premium, ternyata malah tidak diturunkan harganya. Belum lagi, rasio turunnya harga. Hanya berkisar 500 rupiah. Padahal, jika dihitung biaya produksi 1 Liter BBM saat ini hanya sekitar Rp. 4.800. Seharusnya BBM bisa turun Rp. 1.000 ke level harga Rp. 5.000. Pemerintah masih untung
Persoalan BBM merupakan perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Semua sektor membutuhkan BBM. Mulai dari pertanian, perikanan, industri dan rumah tangga. Dengan demikian, politik pengaturan BBM seharusnya benar-benar diperhatikan oleh pemerintah dan rakyat. Pemerintah wajib mengelola produksi dan distribusinya, sehingga BBM dapat diperoleh rakyat dengan mudah. Sesuai pasal 33, bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sedangkan rakyat harus selalu melakukan fungsi kotrolnya sehingga kebijakan BBM yang dijalankan pemerintah dapat memenuhi hajat hidup rakyat.
Apalagi di tengah situasi krisis ekonomi global yang diprediksi masih akan berlangsung 2-3 tahun lagi. Kebijakan BBM akan sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi. Apalagi ekonomi riil, yang ternyata juga kena dampak krisis finansial. Jika harga BBM turun, maka beban biaya produksi dari sisi bahan bakar akan berkurang. Dan ini akan meningkatkan produksi. Namun sekali lagi, sangat disayangkan. Solar yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh sektor riil, seperti kegiatan di sektor perikanan, pertanian dan industri, tidak ikut diturunkan. Padahal, jika harga solar diturunkan, maka bisa dipastikan, kegiatan ekonomi pertanian, perikanan dan industri akan bergairah kembali. Setidaknya, ini akan menolong ekonomi kita untuk selamat dari ’gempa’ krisis global.
Selama ini, kebijakan pemerintah mengenai BBM memang agak sulit diterima nalar. Ditengah turunnya harga minyak dunia, ternyata pemerintah tidak segera menurunkan harga BBM. Memang, pengaturan harga BBM kita sangat dipengaruhi nilai Rupiah terhadap Dolar yang saat ini melemah diatas Rp. 10.000. Namun, dengan nilai tukar sebesar ini pun, harga BBM seharusnya bisa segera turun, karena sangat rendahnya harga minyak dunia saat ini dibandingkan asumsi harga minyak dunia yang digunakan pemerintah saat menaikkan harga BBM beberapa bulan yang lalu. Selisihnya cukup besar lebih dari US$ 20 per barel. Belum lagi, kebijakan pemerintah yang hanya menurunkan harga premium saja.
Sekali lagi, ada hal besar yang patut dipertanyakan oleh rakyat. Mengapa pemerintah melakukan ini semua. Jika dikaitkan dengan upaya menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan gairah ekonomi riil, jelas tidak akan bisa. Pernyataan bahwa kenaikan BBM demi orang miskin juga harus dipertanyakan karena faktanya, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa.
Karena logikanya, jika harga BBM murah, maka kegiatan ekonomi akan meningkat. Jika kegiatan ekonomi meningkat, maka kemakmuran juga meningkat diikuti menurunnya angka kemiskinan. Dengan harga premium di level Rp. 5.500, rasanya tidak akan ada pengaruh yang signifikan bagi meningkatnya gairah ekonomi. Apalagi harga solar, tidak ikut turun. Meskipun, bisa jadi harga solar menyusul turun, beberapa bulan setelah turunnya harga premium. Namun, penundaan waktu sebulan atau dua bulan akan sangat besar pengaruhnya bagi kegiatan produksi. Seharusnya biaya produksi bisa ditekan beberapa trilyun.
Mempertanyakan Kembali Soal Subsidi
Bau liberalisme sangat terasa dalam kebijakan BBM. Seharusnya pemerintah menyediakan BBM dengan mudah dan murah kepada rakyat. Tapi kekuasaan untuk mengelola BBM ternyata disalahgunakan oleh pemerintah. Politik BBM sangat kental dengan bisnis dan cari keuntungan. Pemerintah tidak mau rugi, bahkan mencari untung sebesar-besarnya dari transaksi BBM antara rakyat dan pemerintah.
Apalagi jika kita meninjau kembali kebijakan naiknya BBM beberapa bulan yang lalu. Dengan dalih, naiknya harga minyak dunia, maka naiknya subsidi BBM akan membebani APBN. Padahal sesungguhnya tidak ada yang disebut subsidi BBM. Apa yang disebut subsidi baru ada jika seluruh minyak mentah diimpor dari luar negeri. Faktanya, Indonesia masih memproduksi 910 ribu barel minyak mentah setiap hari. Memang, produksi sebanyak itu tidak mencukupi sehingga harus impor. Nah, mestinya, subsidi itu dihitung dari jumlah minyak mentah yang diimpor itu. Mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menyebut, jika perhitungan dilakukan dengan benar, Pemerintah sesungguhnya malah mendapatkan kelebihan uang tunai; yakni selisih harga jual BBM di dalam negeri dengan besarnya subsidi dari minyak mentah impor. Besarnya diperkirakan mencapai Rp 35 triliun. Kemana dana sebesar ini?
Memang, kenaikan harga minyak dunia dari US$ 40 per barel menjadi US$ 60 per barel (Rp 9.300 per USD) akan menyebabkan subsidi meningkat Rp 70 triliun, dari Rp 59 triliun menjadi Rp 129 triliun. Namun, penerimaan pemerintah dari penjualan minyak ke luar negeri dan kepada rakyat akan meningkat Rp 84 triliun, dari Rp 129 triliun menjadi Rp 213 triliun. Jadi selama ini sebenarnya pemerintah sudah surplus Rp 14 triliun.
Ibaratnya pemerintah menjual minyak ke luar negeri dengan harga Rp. 4.000 perliter. Lalu membelinya kembali dari luar negeri dengan harga Rp. 7.000 perliter. Memang lebih mahal. Kemudian dari harga Rp. 7.000 perliter dijual kepada rakyat dengan harga Rp. 6.000 perliter dan menyatakan yang Rp. 1.000 dibayarkan oleh pemerintah (subsidi). Kalau kita jeli, sebenarnya pemerintah sudah mendapatkan untung Rp. 3.000 perliter. Yaitu keuntungan yang diperoleh dari selisih harga jual keseluruhan (ke luar negeri Rp. 4.000 perliter dan kepada rakyat Rp. 6.000 perliter jadi total penerimaan Rp. 10.000 perliter) dengan harga beli yang hanya Rp. 7.000 perliter.
Jadi sebenarnya tidak ada subsidi.
Jadi kalaupun pemerintah menurunkan harga premium ke level Rp. 5.000 perliter, tidak ada beban bagi APBN. Karena selama ini yang membebani APBN bukanlah subsidi untuk rakyat, terutama subsidi BBM yang tak lebih dari 150 Trilyun. Yang membebani APBN adalah hutang yang jumlahnya lebih dari 1000 Trilyun. Yang jumlahnya pasti akan terus bertambah karena bunga dan kebijakan gali lubang tutup lubang. Dan berasal dari mana hutang sebanyak itu? Tidak lain adalah hutang untuk menutupi kerugian para kapitalis yang gagal dalam bisnis. Sebuah ketidakadilan. Kegagalan kapitalis harus dibayar oleh dana yang diambil dari rakyat.
Jika memang pemerintah hendak mencari sumber pemasukan untuk kas negara, hendaknya memperoleh dari penyitaan harta para kapitalis dan para koruptor.
Jadi, transparanlah Pemerintah dalam kebijakan BBM ini!
Pengamat Ekonomi, Anggota Aliansi Penulis Pro Syariah
Assalammu'alaykum WR WB
Selamat Datang, Saudaraku...
Rabu, 28 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar