Kebebasan beragama dalam Islam bermakna kebebasan yang dimiliki setiap orang dalam menentukan agama apa yang hendak dianut. Seseorang tidak boleh dipaksa dia harus beragama Islam. Tidak boleh dipaksa berarti tidak boleh melakukan intimidasi berupa tindakan kekerasan fisik ataupun perkataan yang bersifat memaksa, misalnya, “Pokoknya, harus…., kalau tidak…..”, tanpa dialog yang baik. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam AlQur’an, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”(QS. AlBaqoroh:256).
Meski tidak pernah memaksa manusia untuk masuk ke dalam Islam, tapi Islam tidak pernah menutup diri dan bahkan selalu terbuka kepada seluruh manusia dari golongan agama apapun. Islam tidak pernah menutup diri terhadap manusia yang ingin mengetahui apa itu Islam. Sepanjang sejarahnya, ketika Islam dibawa pengikutnya memasuki wilayah-wilayah baru, selalu dilakukan penyampaian kepada masyarakat mengenai Islam. Dakwah untuk mengenalkan Islam dan mengajak manusia masuk ke dalam Islam tidak pernah terhenti, sejak agama ini dibawa oleh Nabi Muhammad saw hingga saat ini. Hingga dengan dakwah inilah berjuta-juta manusia masuk ke dalam Islam. Memeluk Islam dan bahkan ikut menyebarkan Islam.
Tidak ada paksaan dalam beragama tidak berarti meniadakan dakwah atau seruan untuk memeluk agama Islam. Atau terlarang untuk mengajak orang kepada Islam. Alamiahnya, setiap orang yang meyakini kebenaran sesuatu akan selalu terdorong mengajak orang lain untuk ikut meyakini kebenaran tersebut. Begitupun bagi setiap muslim. Maka ia akan selalu terdorong untuk mengajak orang lain agar memeluk Islam. Selain karena dorongan tersebut, mengajak orang untuk memeluk Islam adalah kewajibannya.
Jadi tidak ada paksaan dalam beragama tidak berarti kita berhenti untuk terus mengajak orang memeluk Islam. Mengajak orang memeluk Islam harus selalu dilakukan, hanya saja tidak boleh dengan paksaan. Tapi berupa ajakan. Disinilah yang harus ditekankan. Bahwa harus tetap mengajak, tapi tanpa paksaan.
Kenapa harus tetap mengajak? Sekali lagi itu adalah hal yang alamiah dilakukan oleh orang yang menyakini kebenaran. Jika tidak ada paksaan untuk memeluk agama diartikan tidak boleh ada dakwah menyeru kepada Islam. Maka jelas, ini adalah upaya untuk memandulkan Islam.
Ini adalah makna kebebasan beragama dalam hal memilih agama mana yang hendak dianut.
Isu kebebasan beragama seringkali dimaknai kebebasan dalam mengekspresikan keagamaanya tersebut. Misalnya, orang Islam bebas untuk menjadi orang Islam yang seperti apapun. Hal ini tidak dapat diterima secara mutlak. Tentu tidak dapat diterima jika setiap orang bebas semaunya untuk menafsiri agama, tanpa kapasitas yang memadai dan kemampuan yang disyaratkan untuk menafsiri. Karena Islam sudah memiliki patokan-patokan dan standar-standar baku dalam “mengekspresikan” keagamaan.
Jika yang dimaksud ekspresi keagamaan adalah mengenai perbedaan pendapat antar pemeluk agama Islam, maka hal ini dapat diterima dengan tiga syarat.
Pertama, perbedaan tersebut tidak mencakup masalah pokok atau masalah aqidah. Karena aqidah Islam adalah penentu yang membedakan seseorang muslim atau tidak. Apa saja yang termasuk aqidah sudah jelas dan mashur yaitu jika seseorang tidak membenarkan Alloh, tidak mengimani nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir, tidak membenarkan AlQur’an adalah kitab Alloh, maka dia tidak dapat disebut muslim.
Pokok-pokok keyakinan ini tidak bisa diganggu gugat, karena disanalah letak keimanan. Bagi semua orang Islam, tidak ada perbedaan dalam masalah aqidah. Karena setiap perbedaan dalam masalah aqidah berarti perbedaan dalam masalah pokok dan berarti beda keyakinannya. Aqidah Islam sudah jelas. Dan jika meyakini apa yang diluar aqidah Islam berarti keluar dari Islam.
Kedua, perbedaan dalam masalah furu’ atau cabang diperbolehkan, tapi pendapat tersebut harus didasarkan pada sumber hukum yang benar, yaitu didasarkan pada AlQur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Mengapa harus berhukum pada keempat hal ini, maka penjelasan dalil-dalilnya sudah jelas dan sudah masyhur.
Ketiga, pendapat tersebut harus dibangun melalui metode tafsir yang benar juga. Metode tafsir yang didasari AlQur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Bukan metode tafsir yang hanya menggunakan akal-akalan saja. Para ulama besar di masa silam sudah menyusun metode-metode tafsir yang jika jelas landasannya maka dapat dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan untuk saat ini.
Dengan demikian, makna kebebasan beragama menjadi jelas. Pertama, bahwa setiap manusia berhak untuk memilih agama yang hendak dianut tanpa paksaan. Kedua, jika seseorang sudah memeluk agama Islam, maka dia terikat dengan kaidah-kaidah dalam Islam. Islam mengatur dengan jelas bahwa setiap muslim harus taat pada Alloh dan hukum-hukumNya, maka kebebasan untuk memeluk agama di luar Islam menjadi keharaman baginya. Namun sebagai pemeluk Islam, dia boleh berpendapat apapun dengan pemeluk Islam yang lain dalam masalah furu’ atau cabang asalkan pendapatnya tersebut di dasari oleh dalil yang dibenarkan dan dibangun dengan metode tafsir yang juga benar.
Jika dikatakan kebebasan beragama berarti bebas sebebas-bebasnya maka argumen ini jelas tidak dapat diterima. Jika setiap orang bebas melakukan apapun yang diinginkannya, maka akan terjadi banyak benturan di masyarakat. Karena kebebasan seseorang jika dibiarkan begitu saja, pasti akan menghalangi kebebasan manusia yang lain.
Kalaupun ia menganggap apa yang dilakukannya tidak mengganggu orang lain, tetap saja, masyarakat yang tidak saling peduli adalah masyarakat yang tidak sehat dan lemah. Setiap individunya tidak peduli satu sama lain, padahal manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Kita saling membutuhkan satu dengan yang lain. Makanya harus ada kepedulian, harus bisa menempatkan apa yang menjadi hak dan kewajiban, bukannya bebas semaunya.
Jadi bagaimanapun, masyarakat yang maju bukanlah masyarakat yang bebas. Tapi masyarakat yang maju adalah masyarakat yang teratur dan diatur dengan aturan yang menempatkannya sebagai manusia sejati. Yang memanusiakan manusia.
Semoga menjadi renungan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar