Oleh : Yulia Fajar Rini
Menyaksikan berita mengenai penggusuran memang sangat menyakitkan. Ibaratnya, negeri ini sudah tidak lagi dijajah Belanda, tapi rakyat seolah terusir dari negerinya sendiri. Hidup tanpa tempat tinggal yang layak. Hidup di pinggir kali, di pinggir rel atau di bawah jembatan dengan bangunan rumah seadanya, dari kardus atau seng-seng berkarat. Belum lagi harus berdesak-desakkan dengan anggota keluarga yang lain. Memang, di negeri kita ini, jumlah penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak jumlahnya masih sangat banyak. Di sisi lain, bangunan mewah berharga miliaran hanya ditinggali 3-4 orang. Iri, dengan rezeki orang lain. Rasanya, bukan itu pokok permasalahan yang harus dibahas. Tetapi adalah mengapa masih ada rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak?
Masalah tempat tinggal, menurut sebagian orang memang berkaitan erat dengan masalah ekonomi. Rasanya wajar jika masih ada orang yang tidak punya rumah, karena ekonominya memang berada di kelas bawah. Jika kita runtut lagi, tentu permasalahannya menjadi meluas ke arah mengapa ekonomi sulit? Karena malas bekerja atau tidak ada lapangan pekerjaan, atau tidak punya keterampilan dan keahlian? Dan sebagainya.
Tapi pada tulisan ini, saya ingin memberikan wacana yang sangat unik mengenai kebijakan di seputar masalah tanah yang tentu erat kaitannya dengan masalah tempat tinggal. Yaitu pandangan Syari’at Islam mengenai politik tanah atau pengaturan tanah. Sebagai agama yang tidak hanya mengatur urusan manusia dengan Tuhannya, rasanya wacana ini patut untuk dipertimbangkan.
Saat ini, tidak ada hukum yang jelas mengenai apa saja yang termasuk kepemilikan rakyat, kepemilikan negara dan kepemilikan individu/swasta. Tidak ada penjelasan detail isi UUD pasal 33 tentang hal apa saja yang termasuk hajat hidup orang banyak atau kepemilikan umum. Terbukti dari banyaknya sumber daya yang awalnya dikelola oleh negara untuk kepentingan umum menjadi diserahkan kepada swasta atau mekanisme pasar. Sumber daya yang awalnya mudah perolehannya (murah atau terjangkau) seperti listrik, air, tambang-tambang, hutan dan sebagainya menjadi sulit dan tidak terjangkau, karena sekarang tergolong kepemilikan swasta. Pandangan suatu sumber daya terkadang tergolong kepemilikan negara, terkadang tergolong kepemilikan individu, tergantung siapa yang berkuasa. Termasuk, bagaimana hukum kepemilikan tanah. Apakah tanah termasuk kepemilikan individu/swasta, kepemilikan umum atau kepemilikan negara? Ketidakjelasan status kepemilikan tanah, dapat teramati dari seringnya terjadi kasus seputar tanah. Seperti kasus di AlasTlogo Pasuruan atau kasus penggusuran yang sering terjadi di kota-kota besar.
Dalam pandangan Syari’at Islam kebutuhan tempat tinggal adalah kebutuhan asasi bagi setiap warga negaranya. Tanah adalah kepemilikan umum bagi siapa saja. Kecuali untuk tanah yang darinya terdapat sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Seperti hutan, tambang emas, tambang minyak dan sebagainya, maka pengelolaannya diserahkan kepada negara, bukan swasta.
Selain itu, Islam telah mengatur sebab-sebab kepemilikian tanah. Islam menjadikan kepemilikan tanah dengan sebab membeli, warisan, hibah, menghidupkan tanah mati, dan pemberian negara secara cuma-cuma (Abdurahman AlMaliki dalam buku Politik Ekonomi Islam, hal: 59). Yang menarik dari sebab kepemilikan ini adalah perolehan tanah dengan menghidupkan tanah mati dan pemberian negara secara cuma-cuma. Yakni kepemilikan tanah dilihat dari sisi produktifitasnya. Siapa saja yang dapat memproduktifkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya. “Sebelumnya tanah itu milik Alloh dan RasulNya, kemudian setelah itu milik kalian. Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka ia menjadi miliknya. Dan tidak ada hak bagi yang menelantarkan selama tiga tahun”. (HR. Baihaqi dan Thoriq). Aturan ini berlaku untuk tanah mati. Yaitu tanah yang dibiarkan terlantar dan tidak dikelola dalam waktu lebih dari dari tiga tahun.
Keadaan yang sering kita hadapi saat ini adalah aturan kepemilikan tanah yang berbau feodalisme. Yakni seorang individu terkadang memiliki tanah yang sangat luas, padahal ia tidak menggunakan tanah tersebut untuk sesuatu yang produktif atau dengan kata lain ia menelantarkan tanah tersebut. Akibatnya banyak orang lain yang sebaliknya, tidak memiliki tanah karena tidak ada modal atau kekayaan. Sebenarnya seorang individu memiliki tanah yang luas bukanlah suatu masalah. Permasalahannya terletak pada produktivitas tanah tersebut. Jika tanah yang luas itu tidak dikelola padahal ada orang lain yang tidak memiliki tanah namun mampu mengelola tanah, maka itulah masalahnya.
Solusi untuk masalah ini bukanlah land reform seperti konsep pengaturan tanah dalam pandangan sosialisme. Yakni setiap anggota masyarakat diberikan tanah dengan luas yang sama. Mengapa bukan land reform? Alasannya seperti apa yang sudah terungkap pada paparan sebelumnya, yakni kepemilikan tanah mati tergantung siapa yang mampu memproduktifiskannya. Sedangkan kemampuan seseorang untuk mengolah tanah dapat berbeda-beda. Maka, siapa saja yang mampu mengelola tanah mati, hendaknya memagarinya dengan luas yang mampu untuk dikelolanya. Ini akan lebih adil. Secara birokrasi, ia dapat langsung mencatatkan kepemilikan atas tanah tersebut.
Dengan pengaturan tanah seperti inilah masyarakat akan sejahtera. Masyarakat dapat hidup dengan tempat tinggal yang layak. Hal ini karena secara logika kepemilikan seseorang terhadap tanah akan terbatasi dengan kemampuannya mengelola tanah tersebut. Tidak ada seseorang yang memiliki tanah yang sangat luas, karena secara rasional kemampuannya mengelola tanah pasti terbatas.
Sistem ini memang memerlukan banyak lagi penjelasan. Yaitu penjelasan yang digali dari sumber-sumber hukum Al-Qur’an dan hadist. Seperti produktifitas tanah meliputi apa saja, apakah hanya untuk pertanian dan perkebunan, atau penjelasan mengenai memproduktifkan tanah di Daerah Aliran Sungai atau pinggiran kereta api dan sebagainya. Namun dengan gambaran umum seperti ini, setidaknya ada solusi bagi masyarakat yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Sementara, di sisi lain ada banyak tanah yang terbengkalai, tidak terurus sehingga ditumbuhi rumput-rumput dan ilalang.
Dengan demikian, kita bisa berharap tidak ada lagi rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak ada lagi penggusuran. Karena tidak ada para feodal dan tanah mati.
Wallahu’alam bish showwab
Assalammu'alaykum WR WB
Selamat Datang, Saudaraku...
Rabu, 28 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar