Dalam Sebuah tulisan di New York Times, Ekonom Universitas Harvard Jeffrey Sachs pernah mengatakan, "Jutaan orang meninggal dalam diam akibat kemiskinan". Tapi kini sepertinya ungkapan Jeffrey menjadi kurang tepat. Di Pasuruan, 21 orang meninggal dalam jeritan dan histeria kemiskinan.
Meninggalnya 21 orang di Pasuruan saat menerima zakat merupakan peristiwa yang mengenaskan. Betapa tidak, peristiwa dengan korban sebanyak ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Meskipun kegiatan pembagian zakat di Pasuruan ini sudah berlangsung selama 10 tahun tetapi baru kali ini ada yang meninggal, apalagi sampai puluhan orang. Maklum, karena pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penerima zakat tidak sampai sebanyak tahun ini.
Orang Miskin dan Kemiskinan
Tragedi Pasuruan ini, harus menjadi pelajaran bagi kita semua. Yang pertama, karena tragedi ini menggambarkan kehidupan rakyat yang semakin terjerembab dalam kemiskinan. Terserah, jika ada pihak-pihak yang mengatakan jumlah orang miskin di negeri ini sudah berkurang. Faktanya, semakin banyak orang miskin. Buktinya, dulu kegiatan pembagian zakat di Pasuruan hanya dihadiri beberapa orang saja. Dan kenyataannya setiap tahun, jumlah penerima zakat semakin banyak dan akhrinya membludak sampai 5000 orang. Data-data empiris juga menunjukkan angka kemiskinan semakin meningkat.
Jika ada yang mengatakan jumlahnya menurun, bisa jadi karena standar miskin yang digunakan memang rendah.
Kita seharusnya bisa berlaku bijak. Berapapun jumlah orang miskin, seharusnya membuat kita tetap memberikan perhatian yang besar untuk menyelesaikannya. Apalagi dalam konteks penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta. Sekian persen saja ada penduduk miskin, seharusnya tidak dapat diremehkan. Apalagi kalau angka sekian persen itu diterjemahkan dalam jumlah penduduk, ternyata jumlahnya menjadi puluhan juta orang.
Terkadang kita sudah merasa lega jika angka kemiskinan menurun. Meskipun, sebenarnya jumlah angka kemiskinan masih sangat besar.
Apalagi menilai keberhasilan ekonomi dengan standar pendapatan perkapita tidak menunjukkan pendapatan masing-masing rakyat yang sesungguhnya. Pada tahun 1985 saja, misalnya, pendapatan per kapita Indonesia sebesar 960 dolar AS per orang per tahun. Dari angka tersebut 80% daripadanya dikuasai hanya oleh 300 grup konglomerat saja. Sedangkan sisanya 20 %, diperebutkan oleh hampir 200 juta penduduk (Republika, 28 Agustus 2000).
Menilai kemiskinan seharusnya dilihat dari masih adakah rakyat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Berapa jumlah rakyat yang kelaparan, berapa jumlah rakyat yang tidak memiliki rumah dan berapa rakyat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya?
Ada sebuah kisah menarik dari buku Orang non-Muslim yang Hidup di Bawah Naungan Negara Khilafah. Yang menceritakan kodisi politik masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi.
Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal (Kas Negara) secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barang siapa berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”.
Kemudian gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?”
Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban: “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”
Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa.
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat mensejahterakannya.”
Akhirnya, dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah diantara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak yatim?”
Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Maka di bulan Ramadhan yang suci ini, mari kita coba menengok bagaimana pandangan dan solusi Islam terhadap kemiskinan.
Standar yang digunakan dalam kisah ini adalah kemiskinan individu, bukan kemiskinan makro atau kemiskinan negara. Kemiskinan negara biasanya cukup dilihat dari berapa besaran pendapatan perkapita negara tersebut dibandingkan negara lain disertai berbagai penilaian lain yang masih bersifat makro seperti angka inflasi, nilai kurs mata uang dan sebagainya. Melihat kondisi makro tidak dapat disebut melihat kondisi masyarakat yang sesungguhnya.
Paradigma mikrolah yang seharusnya menjadi standar.
Jika penilaian makro yang dipakai, maka selamanya, problem kemiskinan tidak akan pernah bisa diatasi.
Negara Punya Tanggung Jawab Paling Besar
Keberhasilan Umar Bin Abdul Aziz dalam mengatasi masalah kemiskinan bisa kita jadikan tauladan. Kunci keberhasilannya adalah pengelolaan harta negara dengan baik dan politik distribusi yang merata sesuai Syariat Islam. Dia melaksanakan tugasnya dengan posisi sebagai kepala negara. Karena ini adalah bentuk yang paling efektif, bukan dilaksanakan oleh kelompok apalagi individu yang memang daya jangkaunya terbatas.
Penggantian paradigma sistem ekonomi yang digunakan Umar Bin Abdul Aziz merupakan solusi fundamental. Yaitu dari paradigma kapitalisme ke paradigma Islam. Karena Islam telah mengatur dengan tepat bagaimana mengatasi kemiskinan oleh negara.
Sedangkan solusi derivat yang ditawarkan Islam untuk dilaksanakan oleh negara adalah jaminan pemenuhan kebutuhan primer, pengaturan kepemilikan, penyediaan lapangan kerja dan penyediaan layanan pendidikan murah.
Kebutuhan primer ini terdiri dari kebutuhan pangan, sandang dan papan. Dengan mekanisme pemenuhannya adalah mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, jika ia tidak mampu maka mewajibkan kerabat dekat untuk membantu saudaranya.
Jika cara ini tidak bisa terlaksana maka mewajibkan negara untuk membantu rakyat miskin, bukan ditangani oleh lembaga swasta seperti LSM atau organisasi. Karena masalah kemiskinan adalah masalah besar. Sehingga untuk efesiensi pengaturan harus dibawah kontrol negara langsung.
Jika negara terbukti tidak mampu, maka wajib bagi kaum muslim untuk membantu rakyat miskin. Bisa dengan mekanisme pajak darurat.
Sedangkan pengaturan dan pengelolaan kepemilikan meliputi mengklasifikasikan jenis-jenis kepemilikan. Yaitu kepemilikan individu yang boleh dinikmati oleh individu seperti tanah warisan, dan sebagainya. Kepemilikan umum dan kepemilikan negara yang dikelola untuk kebutuhan masyarakat secara umum, seperti tambang minyak dan sebagainya.
Klasifikasi ini mencegah pengelolaan kepemilikan yang menyangkut hajat hidup orang banyak oleh satu pihak saja. Padahal harusnya keuntungannya diserahkan untuk kemakmuran rakyat.
Yang juga sangat penting yaitu mekanisme distribusi kekayaan di tengah-tengah Masyarakat. Islam tidak pernah melarang seseorang untuk kaya. Tetapi sebagian kekayaan yang harus dibayarkan dalam bentuk zakat akan membuat distribusi kekayaan terus berputar. Semuanya dikelola oleh negara.
Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja apalagi jika jumlah pengangguran sudah sangat tinggi.
Dan yang terpenting adalah penyediaan layanan pendidikan yang murah. Karena kemiskinan seringkali muncul akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia baik dari sisi kepribadian maupun ketrampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layana pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki ketrampilan untuk berkarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar