Oleh : Yulia Fajar Rini
Kecurangan kembali mewarnai pelaksanaan UN tahun ini (2007). Tidak hanya pelajar yang melakukan kecurangan. Bahkan kecurangan dilakukan secara terstruktur oleh guru, administrasi sekolah dan Kepala Sekolah. Tulisan ini akan membahas tentang kecurangan yang dilakukan oleh pelajar atau biasa disebut menyontek. Terkejut karena hal ini, rasanya sudah tidak. Di tahun-tahun yang lalu juga terjadi hal serupa. Tapi tentunya kita tidak ingin hal ini terus terulang.
Setidaknya aktifitas saya sebagai pembina kegiatan keputrian (KeIslaman untuk pelajar putri) membuat saya dapat banyak berdialog dengan para remaja. Saya menjadi sering bertemu dengan para pelajar mendiskusikan hal-hal diluar mata pelajaran. Biasanya mengenai problem keremajaan mereka dan hal-hal lain seputar “sekolah kehidupan”. Rasanya diskusi saya berikut ini dapat menjadi bahan pemikiran mengenai bagaimana kondisi remaja kita saat ini. Meskipun kecurangan seringkali dilakukan oleh oknum, tidak semua, tapi bagaimanapun juga hal ini adalah kesalahan yang tidak bisa dibiarkan dan harus diselesaikan.
Suatu kali saya mengajukan pertanyaan ke beberapa forum pelajar di sekitar 4 sekolah dalam setahun ini mengenai menyontek dan korupsi. Empat sekolah tersebut adalah satu SMA negeri, satu SMA swasta dan dua SMP negeri. Meskipun ini bukan data ilmiah. Setidaknya secara pribadi kita dapat memperoleh gambaran mengenai bagaimana pandangan siswa terhadap menyontek. Saya harap nantinya ada penelitian ilmiah tentang hal ini.
Pertanyaan pertama yang saya ajukan adalah “siapa yang pernah menyontek saat ujian?”. Jawaban yang saya peroleh dari keempat sekolah tersebut rata-rata hampir sama. Jawabannya sangat mengejutkan yaitu bahwa lebih dari separuh siswa mengangkat tanggannya. Artinya hampir semua siswa tersebut pernah menyontek.
Lalu pertanyaan saya lanjutkan dengan menanyakan mengapa mereka menyontek. Kebanyakan jawaban adalah “Agar nilainya baik, sehingga orang tua senang”, namun ada juga yang menjawab “Belum siap dan tidak begitu mengerti dengan materi pelajaran tersebut” dan beberapa jawaban-jawaban sejenis.
Saya melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan “Sebenarnya menyontek itu bagaimana? Boleh atau tidak”. Jawaban mereka rata-rata adalah tersenyum, kemudian berceloteh ini dan itu. Ada yang mengatakan “Boleh saja, kan niatnya baik” atau “Sama gurunya nggak apa-apa, asal tidak ketahuan” atau “Iya sih, nggak boleh, tapi gimana”.
Pertanyaan saya alihkan kepada hal lain, “Kita sering mendengar istilah korupsi. Bagaimana menurut kalian?”. Ada yang menjawab, “Korupsi itu merugikan, soalnya mengambil sesuatu yang bukan haknya” atau “Korupsi itu merugikan negara, soalnya mengambil kekayaan negara, sehingga memperlambat pembangunan” dan jawaban sejenis yang intinya mengenai ketidaksetujuan mereka terhadap tindakan korupsi. Tidak pernah terdengar pendapat yang menyatakan setuju dengan tindakan korupsi. Lalu saya tekankan dengan pernyataan, “Jadi korupsi itu harus dibasmi, harus dihentikan”. Dan mereka menjawab dengan mantap, “Iya”.
Pertanyaan terakhir yang saya ajukan kepada mereka adalah “Apa perbedaan antara menyontek dan korupsi?”. Dan jawaban yang saya peroleh ternyata beraneka ragam. Kebanyakan tertawa tersindir. Namun ada juga yang berusaha membela diri, “Yang kita conteki, merasa tidak keberatan, jadi kita tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Itu sah-sah saja.” atau jawaban-jawaban sejenis.
Yang kalau kita kembalikan ke hati kita yang paling jujur, pasti jawabannya adalah “Tidak ada beda antara menyontek dan korupsi”. Saya pun melanjutkan dengan menekankan pada sebuah pernyataan, “Jadi kalau kita memang ingin benar-benar menghentikan korupsi di negeri tercinta ini, salah satunya adalah dengan menghentikan menyontek. Bahkan saya berani menjamin bahwa selama adik-adik semua masih menyontek, korupsi tidak akan bisa diberangus dari negeri kita ini”. Pernyataan terakhir saya ini biasanya mendapat sorakan dari para pelajar. Entah itu sepakat atau bahkan menolak.
Bagaimana dengan anda?
Saya yakin, siapapun yang jujur dengan hatinya akan mengatakan bahwa menyontek adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Membiarkan terjadinya kegiatan menyontek atau melakukan kegiatan menyontek telah menjauhkan diri dari tujuan belajar itu sendiri. Tujuan belajar atau bersekolah adalah menuntut ilmu sehingga dapat melangsungkan kehidupan dengan baik. Tujuan bersekolah bukanlah mencari nilai atau untuk mencari kerja. Tujuan yang salah ini pastinya akan membawa pada tindakan yang salah. Jika seseorang belajar dengan tujuan mendapatkan nilai yang baik, maka nilai yang baik inilah yang menjadi arahnya, kecenderungannya dan tujuannya. Bisa jadi ia akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya tadi. Kalaupun ia sudah berjanji tidak akan melakukan kecurangan untuk mendapatkan nilai yang baik, maka saya tidak berani menjamin, dalam kondisi terpepet, ia akan tetap melakukannya.
Lalu bagaimana?
Seseorang bertindak berdasarkan apa yang dipikirkannya. Menjamurnya fenomena menyontek atau bahkan korupsi adalah buah dari mendominasinya paradigma materialistis. Dalam pandangan ini, sesuatu dipandang baik jika sesuatu itu bermanfaat atau mendatangkan keuntungan materi. Kita bisa melihat alasan-alasan yang menjudge bolehnya tindakan menyontek. Pandangan materialistis sendiri lahir dari ide sekulerisme, yaitu ide pemisahan urusan agama dari kehidupan. Yakni agama tidak berhak mengatur kehidupan. Agama tidak berhak mengatur apa yang baik dan apa yang buruk. Yang berhak mengaturnya dan menentukan apa yang baik dan apa yang buruk adalah manusia. Ini jelas pandangan yang keliru. Karena manusia itu terbatas. Bahkan manusia tidak mengetahui apa yang terbaik untuk dirinya. “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(AlBaqoroh:216)
Agama telah mengatur bahwa tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah. Belajar ilmu agama hukumnya wajib, agar manusia selamat di dunia dan di akherat. Belajar ilmu sains dan teknologi juga wajib, agar manusia dapat bertahan hidup di dunia dan dapat berkembang. Jika bersekolah hanya ditujukan untuk memperoleh nilai dan akhirnya ijazah untuk bekerja. Padahal, secara keilmuan tidak berkembang, maka berarti tujuan pembelajaran yang sebenarnya menjadi tidak tercapai.
Pandangan sekuler juga telah menjadikan seorang pelajar tidak lagi takut pada Penciptanya. Pelajar berani menyontek saat tidak ada guru, menyembunyikan bahan (ngerpek), dan kecurangan-kecurangan lain dalam pembelajaran.
Tidak hanya itu, pandangan sekuler juga telah menjadikan pecahnya kepribadian siswa. Siswa belajar untuk mengetahui, bukan untuk melaksanakan apa yang dipelajari. Karena dalam kacamata sekuler, sah-sah saja melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Siswa belajar agama bukan untuk diterapkan, tapi hanya untuk diketahui saja. Demikian juga ketika mereka mempelajari ilmu sains. Hanya sekedar untuk tahu saja. Sekuler tidak akan mungkin menjaga pelaksanaan agama dalam kehidupan.
Agar tulisan ini tidak hanya menjadi sebuah seruan moral. Kini saatnya pemerintah menggalakkan pembinaan terhadap masyarakat. Pembinaan yang menghantarkan manusia pada fitrohnya sebagai hamba dari Pencipta. Pembinaan yang menjauhkan sekulerisme dari kehidupan. Pembinaan yang menjadikan manusia-manusia tangguh, yang siap menghadapi kehidupan dengan perkasa. Yang bertaqwa dan juga ahli dalam sains dan teknologi.
Selain pembinaan untuk membentuk pilar yang kokoh bagi negara, yaitu individu yang bertaqwa. Negara sebagai pilar masyarakat, harus memberlakukan sangsi yang tegas. Mungkin bisa dengan menjadikan menyontek sebagai salah satu tindakan kriminal yang ditindak dengan hukuman yang ringan. Hal ini agar bisa menjadi efek jera bagi si pelaku dan juga bagi masyarakat.
Selain mengupayakan untuk itu semua, secara individu kita dapat memulainya dari diri kita. Baik itu sebagai pelajar maupun sebagai guru. Meskipun kita harus siap dengan sikap negatip dari orang-orang di sekitar kita. Saya teringat waktu saya masih sekolah dan berprinsip tidak akan menyontek dan tidak akan memberikan contekan apapun keadaannya. Karena sebagai seorang muslim, saya diperintahkan untuk jujur. Tapi dengan penjelasan yang baik, saya rasa insya Alloh mereka bisa menerima dan mengikuti tindakan kita.
Sebagai guru, saya juga pernah diperingatkan oleh seorang guru agar tidak terlalu ketat dalam menjaga ujian, tapi saya menolaknya. Dan dampaknya beberapa siswa menjadi kesulitan “beraksi” saat ujian sehingga ada sedikit sikap negatip. Tapi itu adalah hal biasa, saya hanya mengatakan kepada yang “nekad” melakukan tindakan menyontek, “Saya tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi nanti ke depan, bisa lulus sekolah atau tidak saya tidak tahu. Semoga Alloh menunjukkan jalan yang terbaik buat kamu. Dengan menghadiahkan nikmat atau ujiannya kepadamu”. Alhamdulillah, beberapa hari sebelum UN, siswa tersebut meminta maaf dan meminta do’a. Saya hanya mengatakan, “Saya akan berdo’a memohon yang terbaik untuk kamu”. Jadi masyarakat sebagai pilar negara juga harus tidak sungkan-sungkan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Wallahu’alam bish showwab.
Yulia Fajar Rini. Email : no_compromiz@yahoo.com
Assalammu'alaykum WR WB
Selamat Datang, Saudaraku...
Rabu, 28 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar