Pada hari Kamis 30 November 2006 lalu sudah tercatat 9 anak yang menjadi korban smack down. Terjadi di sembilan kota yang menyebar di seluruh Indonesia, mulai Bandung, Jogja, Kalimantan, dan sebagainya. Itu baru jumlah yang melapor, dan dimungkinkan masih banyak korban lain yang belum terdeteksi.
Jurus-jurus smack down terlampau menarik hati anak-anak, sehingga mereka menirukannya. Apalagi kekerasan ala smackdown tidak hanya mereka saksikan dari layar televisi, tapi juga dari VCD, dan playstation. Bahkan pada playstation, mereka dapat menjadi aktornya. Sehingga wajar jika mereka hafal betul dengan nama-nama pukulan khas pemain smackdown, bahkan gaya dan teknik-tekniknya.
Memahami kehidupan anak-anak
Masih teringat betul kejadian tanggal 20 April 1999 di Littleton, Amerika. Dua siswa Columbine High School melakukan pembunuhan terhadap 12 orang teman, seorang guru, dan melukai 23 lainnya dalam waktu 5 jam. Mereka membayangkan bahwa mereka sedang berada di dalam video game.
Sebelum kejadian itu para orang tua dan masyarakat berfikir bahwa game dan tontonan-tontonan kekerasan hanya sebagai hiburan. Tanpa menyadari bahwa anak-anak mereka sudah terpengaruh, terinspirasi dan kecanduan. Bahkan mengganggap kehidupan mereka sebagai bagian dari permainan itu.
Jika ada teman mereka disakiti oleh teman mereka yang lain. Maka mereka akan membalas seperti yang dilakukan oleh pemain smack down terhadap musuhnya. Melakukan bantingan, memelintir hidung, mengangkat dan melemparkan bahkan membenturkan kepala teman mereka sendiri.
Game-game interaktif smack down dalam playstation bahkan telah “melatih “ mereka menjadi pemain smackdown yang handal. Hal ini tidak bisa kita remehkan. Seolah mereka hanya memainkan suatu game visual saja. Tapi sebetulnya mereka sedang memahami bagaimana kekerasan-kekerasan itu dilakukan. Melatih tangan mereka, kaki, mata, dan pikiran mereka untuk melakukan yang serupa dengan game tersebut.
Di Peducah, Kentucky pada tahun 1998, bahkan seorang anak yang melepaskan 8 tembakan di tengah keramaian, tepat mengenai 8 sasarannya. Lima terkena di kepala dan tiga mengenai anggota tubuh. Tanpa meleset satu peluru pun. Ia dikenal ahli memainkan game-game nintendo militer.
Kejadian-kejadian ini seharusnya menjadi satu pembelajaran bagi kita semua. Kasus-kasus kekerasan bahkan kekerasan terhadap anak oleh anak, dapat terinspirasi dari tayangan-tayangan yang ada. Apalagi jika ditayangkan secara interaktif. Hal ini akan membuat siapa saja yang menyaksikan menjadi merasa terlibat. Seolah sedang mengajarkan seorang anak untuk melakukan pukulan, bantingan, atau tendangan kepada seseorang. Bahkan kalau bisa hingga orang tersebut pingsan atau mati.
Kejadian-kejadian di luar negeri itu seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi kita. Betapa besar pengaruh yang dibawa oleh tayangan-tayangan kekerasan dalam kehidupan anak-anak kita. Rasanya tidak perlu menunggu terjadi kasus penembakan terjadi di sini. Cukuplah kasus smackdown membuat kita menjadi waspada.
Kekerasan
Faktanya, kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja, kepada siapa saja dan kapan saja. Faktor pendorongnya pun bisa berasal dari dalam diri si pelaku atau dari luar atau lingkungan.
Pada dasarnya setiap manusia telah diberikan suatu naluri mempertahankan diri. Ketika disakiti, pasti dia akan melakukan perlawanan. Ketika miliknya dirampas pasti ia ingin mendapatkannya kembali. Ketika eksistensinya diabaikan, ia akan berusaha menampilkan sosok dirinya. Terkadang orang melampiaskan naluri ini begitu saja atau ada sebagian lain yang dapat mengendalikannya. Jika pemenuhan terhadap naluri ini dibiarkan begitu saja, bisa kita bayangan kerusakan yang akan terjadi. Seperti hukum rimba, setiap orang berhak menentukan apa yang ingin dilakukannya. Tentu saja tanpa memperdulikan dampaknya bagi orang lain. Sehingga disinilah pentingnya keberadaan peraturan yang mengatur tentang kepemilikan, perseteruan maupun penganiayaan.
Pada kasus korban smack down anak-anak, faktor yang mempengaruhi bisa berasal dari hal-hal diatas. Secara internal, anak-anak juga manusia. Artinya mereka juga memiliki naluri tersebut. Mereka menginginkan eksistensinya diakui, mereka juga melakukan perlawanan ketika dirinya disakiti dan haknya dirampas. Namun pada kasus smack down ini, karakter kasusnya lebih spesifik. Dari gaya kekerasan yang dilakukan, kasus ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Yaitu kekerasan ala smack down yang menjadi trend.
Anak-anak tersebut tidak lagi merasa bangga jika mereka berprestasi di mata pelajaran tertentu. Atau menjadi anak yang dikenal baik, suka menolong, suka memberi atau anak yang menghormati orang tua. Tapi mereka menjadi bangga jika mereka mampu menjatuhkan teman-temannya dengan gaya ala smack down. Bahkan akan semakin bangga jika temannya tersebut sampai berdarah-darah bahkan sampai pingsan.
Tidak hanya terjadi pada anak SD, secara lebih umum anak SMP, SMA, bahkan mahasiswa telah terkena trend bangga dengan kekerasan. Kasus umum seperti tawuran pelajar, bentrok antar mahasiswa sefakultas sangat sering terjadi. Pada koran ini (28/11) disebutkan bahwa tahun 2006 angka penganiayaan berat meningkat 6,84% dari 13368 kasus pada tahun lalu menjadi 14283 kasus. Angka ini memang tidak menggambarkan banyaknya kasus kekerasan oleh anak. Tapi mewakili banyaknya tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat. Penyakit bangga dengan penyimpangan yang dilakukan telah merasuki banyak individu-individu di masyarakat. Tidak hanya pada anak-anak bahkan hingga kakek-kakek.
Mengembalikan peran orang tua
Orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap seorang anak. Menjadi seperti apakah sang anak tergantung pada pola pendidikan yang diberikan orang tua. Orang tua tidak bisa begitu saja menyerahkan urusan pendidikan sang anak kepada sekolah, guru les, atau bahkan pembantu. Sedangkan orang tua hanya sibuk dengan urusan ekonomi, atau bahkan urusan pribadinya. Sudah saatnya orang tua memberikan perhatian yang serius terhadap kehidupan anak, bagaimana pergaulannya, kegiatannya, dan juga senantiasa mengarahkan mereka.
Peran orang tua ini tidak akan berjalan optimal jika tidak didukung lingkungan yang kondusif baik dari lingkungan riil di masyarakat maupun media. Peran pemerintah sangat penting disini. Orangtua harus diberikan pendidikan mengenai bagaimana cara mendidik anak yang benar. Kebijakan perekonomian juga harus diperhatikan. Agar tugas ibu yang seharusnya menjadi pengatur rumah tangga sekaligus pendidik anak tidak terbengkalai karena sibuk mencari nafkah. Juga harus ada sistem hukum yang tegas mengatur masalah kekerasan.
Mari kita mulai dengan gerakan menyayangi anak. Dengan tidak mengekang dan membebaskan mereka, tapi dengan mengarahkan mereka dengan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar